Kisah Nabi Yaqub; Nabi yang Dimusuhi Saudara Kembarnya

Penutur Ulang Lukman Hakim Zuhdi

Perselisihan, permusuhan dan konflik antara saudara kandung rupanya tidak saja terjadi pada manusia biasa. Seorang nabi dan rasul pilihan Allah SWT yang bernama Yaqub pun mengalami hal tersebut. Seperti tercatat dalam berbagai buku sejarah, Nabi Yaqub ‘alaihis salam terlahir dari pasangan Nabi Ishaq ‘alaihis salam dan Rifqah binti A’zar. Kakek Nabi Yaqub bernama Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Sementara ibu Nabi Yaqub adalah keponakan dari Nabi Ibrahim.

Nabi Yaqub bisa menghirup udara dunia ini tidak lama setelah Aish dilahirkan. Dengan demikian, Aish dan Nabi Yaqub sesungguhnya saudara kembar. Dalam perjalanan waktu, Nabi Ishaq lebih menyayangi Aish dengan alasan lahir lebih dulu, meski Nabi Yaqub juga dimanjakan. Sedang Rifqah lebih menyayangi Nabi Yaqub karena ia lebih kecil. Selain itu, Aish yang ahli berburu dan pandai mendapatkan kijang sering meladeni Nabi Ishaq yang sudah tua dan tidak dapat melihat lagi. Sebaliknya, Nabi Yaqub sangat pendiam dan lebih senang berada di rumah untuk mempelajari ilmu agama.

Sejak kecil, Nabi Yaqub dan Aish tidak pernah hidup rukun. Suasana kedamaian sepertinya terus menjauh dari kakak beradik ini. Keduanya tidak mau saling menaruh kasih sayang. Lambat laun hubungan keduanya malah memburuk dan menegang. Aish bahkan memiliki dendam dan iri hati terhadap Nabi Yaqub. Pasal, Aish mengetahui bahwa hanya Nabi Yaqub yang diajukan ibunya, ketika Nabi Ishaq meminta kedatangan anak-anaknya untuk diberkahi dan didoakan. Adapun Aish tidak diberitahu, sehingga tidak mendapat kesempatan memperoleh berkah dan doa dari sang Ayah.

Nabi Yaqub Mengadu Kepada Ayahnya

Semakin hari sikap Aish terhadap Nabi Yaqub kian tidak menyenangkan. Perilaku dan bahasa tubuh Aish sungguh kaku dan dingin. Sesekali Aish menyidir dan mengejek Nabi Yaqub dengan menggunakan kata-kata yang kurang menentramkan hati. Namun Nabi Yaqub tidak mau sedikit pun membalas perlakuan kasar kakaknya. Nabi Yaqub lebih memilih mengadukan persoalan tersebut sekaligus mengeluh kepada ayahnya.

“Wahai Ayah, tolonglah beri jalan keluar kepadaku, bagaimana aku harus menghadapi saudaraku. Aish telah membenci dan mengganggu ketenangan hari-hariku. Aish bertambah marah karena Ayah memberkahi dan mendoakanku agar memperoleh keturunan yang saleh, rezeki yang mudah, penghidupan yang makmur dan mewah. Bahkan Aish menyombongkan diri dengan mengancam akan membunuhku. Aish pun mengobarkan aroma permusuhan hingga keanak-cucuku nanti. Sebenarnya yang aku inginkan menyelesaikan semua ini melalui cara kekeluargaan.” Begitulah curahan hati Nabi Yaqub kepada Nabi Ishaq dengan nada penuh mengiba. Matanya berkaca-kaca.

Nabi Ishaq terdiam, otaknya terus berputar seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Nabi Ishaq sendiri memang sudah merasa kesal hati melihat hubungan kedua putranya yang makin meruncing. Nabi Ishaq kemudian berkata, “Anakku, Ayah tidak dapat menengahi kalian berdua, karena usia Ayah sudah lanjut. Ayah hampir berpisah dengan alam fana ini. Ayah khawatir, bila Ayah telah tiada, gangguan Aish kepadamu akan meningkat. Apalagi Aish mendapat dukungan dari saudara-saudara iparnya yang berpengaruh dan berwibawa di negeri ini.”

Nabi Ishaq menatap lekat wajah Nabi Yaqub yang terlihat sedih. Nabi Ishaq menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan-pelan. Nabi Ishaq melanjutkan ucapannya, “Ayah punya saran terbaik bagimu, kamu harus pergi meninggalkan negeri ini dan hijrah (pindah) ke Irak. Di sana menetap seorang pamanmu, saudara ibumu, yaitu Laban bin Batu’il. Kamu berharap agar dinikahkan dengan salah seorang putrinya. Dengan cara begitu, maka menjadi kuatlah status sosialmu, disegani dan dihormati, karena kedudukan mertuamu yang menonjol di masyarakat. Berangkatlah. Doa Ayah dan Ibu senantiasa untukmu. Semoga Allah SWT memberkahi perjalanan dan kehidupanmu.”

Nabi Yaqub menganggukkan kepala sebagai tanda setuju dengan nasihat dan masukan dari Ayahnya. Selang beberapa waktu, Nabi Yaqub segera mengemasi barang-barang yang diperlukan dalam perjalanannya. Setelah semua beres, Nabi Yaqub berpamitan kepada Ayah dan Ibunya. Air mata mengalir dipipi Nabi Yaqub. Raut kesedihan juga terpancar dari wajah Nabi Ishaq dan Rifqah. Sebenarnya Nabi Yaqub tidak tega meninggalkan orang tuanya. Tetapi demi menjaga hubungan persaudaraan dengan Aish, ia rela meninggalkan rumah dan kampung kelahirannya.

Nabi Yaqub Tidur di Bawah Batu Karang

Nabi Yaqub melakukan perjalanan ke Irak pada malam hari, sebab takut diketahui Aish. Ia berjalan kaki sendirian melewati padang pasir dan gurun sahara yang luas sembari membawa bekal secukupnya. Bila merasa lelah, ia beristirahat di tempat yang dinilai cukup aman. Ketika itu ia tertidur di bawah sebuah batu karang yang besar. Dalam tidur nyenyaknya, ia mendapat mimpi yang tidak biasa. Ia diisyaratkan kelak akan dikaruniai kemudahan rezeki, kehidupan sejahtera, anak cucu yang saleh dan berbakti serta kerajaan yang makmur.

Tidak berapa lama kemudian Nabi Yaqub terbangun dari tidurnya. Kedua matanya menoleh ke kiri, lalu ke kanan. Diteliti barang-barang bawaannya. Semuanya masih utuh. Gambaran mimpi itu masih diingatnya secara jelas. Ia yakin bahwa mimpinya suatu saat akan menjelma menjadi kenyataan. Apalagi, sebelumnya sang Ayah telah mendoakannya begitu tulus. Ia pun berkata sendiri dalam hatinya, mimpinya dengan doa Ayah memiliki keterkaitan yang erat. Keletihan telah hilang dari sekujur tubuhnya. Ia segera bangkit dari tempat rehatnya, lantas melanjutkan sisa perjalanan.

Setelah menempuh jarak panjang yang memakan waktu berhari-hari, Nabi Yaqub akhirnya sampai di Irak. Ia sungguh bersyukur tidak menemui kesulitan apapun. Hatinya lega, pikirannya tenang. Dilihatnya para penduduk Irak yang sedang sibuk mencari nafkah. Nabi Yaqub terus berjalan hingga persimpangan jalan. Ia berhenti sejenak untuk menanyakan rumah Laban bin Batu’il kepada salah seorang penduduk. Rupanya sang paman yang ditujunya seorang kaya raya yang terkenal pemilik peternakan terbesar di kota itu. Tentu alangkah mudah bagi Nabi Yaqub untuk menemukan alamatnya.

Warga yang ditanya oleh Nabi Yaqub spontan menunjuk ke arah seorang gadis cantik yang sedang menggembala domba. Gadis itu bernama Rahil, salah seorang putri Laban bin Batu’il. Dengan segenap keberanian, Nabi Yaqub menghampiri Rahil, kemudian memperkenalkan diri. Rahil menyambut Nabi Yaqub secara ramah disertai senyum manis. Selanjutnya Rahil mengantar Nabi Yaqub menuju rumahnya. Dapat dibayangkan betapa bahagianya Laban bertemu keponakannya. Dipeluknya Nabi Yaqub penuh keakraban. Laban pun menyiapkan kamar khusus bagi tamu istimewanya.

Nabi Yaqub Menikahi Kakak Beradik

Nabi Yaqub merasa betah dengan tempat barunya. Pada saat ngobrol santai dengan Laban, Nabi Yaqub menyampaikan pesan Ayahnya. Isi pesan itu bahwa Nabi Ishaq dan Laban supaya besanan, yakni mengawinkan Yaqub dengan salah seorang putrinya. Rupanya Laban menyambut baik gagasan tersebut. Tetapi, Laban mensyaratkan agar Nabi Yaqub bersedia bekerja di peternakannya selama tujuh tahun. Hal itu dianggap sebagai maskawin atau mahar perkawinan. Nabi Yaqub tidak keberatan.

Masa tujuh tahun telah berlalu dan Nabi Yaqub sudah membuktikannya giat bekerja. Kini gilirannya untuk menagih janji pamannya. Laban menawarkan seorang putrinya bernama Laiya sebagai calon istri Nabi Yaqub. Namun Nabi Yaqub menghendaki Rahil, adik Laiya, karena Rahil lebih cantik. Nabi Yaqub terpesona pada pandangan pertama ketika bertemu Rahil. Laban sebenarnya sangat memahami keinginan keponakannya untuk menyunting Rahil. Tetapi adat-istiadat yang berlaku pada waktu itu tidak mengizinkan seorang adik mendahului kakaknya menikah.

Nabi Yaqub diam, tidak memperlihatkan kekecewaannya. Sebelum ekspresi wajahnya berubah, Laban cepat-cepat menawarkan jalan tengah. Laban menyarankan agar Nabi Yaqub mau menerima Laiya sebagai istri pertama. Setelah itu, Nabi Yaqub harus menjalani masa kerja tujuh tahun yang kedua di peternakannya lagi. Seusai masa itu terlewati, Nabi Yaqub baru boleh menikahi Rahil sebagai istri kedua. Nabi Yaqub menerima saran pamannya.

Perkawinan Nabi Yaqub dengan Laiya dilangsungkan secara meriah. Keduanya sama-sama menerima. Setelah menikah, Nabi Yaqub bekerja kembali sepanjang tujuh tahun. Ketika masanya berakhir, maka menikahlah Nabi Yaqub dengan Rahil, perempuan yang telah membuatnya pertama kali merasakan getar-getar cinta. Dengan demikian, Nabi Yaqub beristrikan dua wanita bersaudara, yakni kakak beradik. Menurut syariat dan peraturan yang berlaku ketika itu, perbuatan demikian tidak terlarang.

Selanjutnya, Nabi Yaqub bahagia dengan keluarga dan kehidupannya yang makmur, persis seperti doa sang Ayah dan isyarat mimpinya. Putra-putrinya terbukti banyak yang menjadi nabi dan raja. Di antara salah seorang putranya bernama Nabi Yusuf ‘alaihis salam, yang dilahirkan dari rahim Rahil. Dalam kesendirian, Nabi Yaqub tiba-tiba teringat dengan keluarga dan kampung asalnya. Maka ia mengajak istri dan anaknya untuk mengunjungi saudara-saudaranya. Ia pun menemui Aish, saudara kembar yang memusuhinya, sambil memberikan hadiah besar. Rupanya kekerasan hati Aish telah luluh. Akhirnya keduanya saling berangkulan seraya meminta maaf.***

Satu respons untuk “Kisah Nabi Yaqub; Nabi yang Dimusuhi Saudara Kembarnya

  1. azam September 22, 2010 / 4:23 am

    ada tak cerita yang lebih detail tentang kebar nabi ya’qub ini?

Tinggalkan komentar