Eurico Guterres: Nasib Warga Eks Timor Timur Lebih Buruk Ketimbang Pemberontak

Pewawancara & Penulis Lukman Hakim Zuhdi

Eurico Barros Gomes Guterres, itulah nama lengkapnya. Pria kelahiran Uatulari, Timor Timur, 17 Juli 1971 ini  lebih dikenal dengan nama beken Eurico Guterres. Ia seorang milisi pro-Indonesia atau anti-kemerdekaan Timor Timur. Namun, ia dituduh terlibat dalam sejumlah pembantaian di Timor Timur. Selain itu, Guterres merupakan pemimpin milisi utama pada pembantaian pasca referendum tahun 1999 dan penghancuran ibu kota Dili.

Pada November 2002, Guterres dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Putusan ini kemudian dikuatkan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Ia baru mulai dipenjarakan pada tahun 2006 setelah gagal dalam upaya banding yang diajukan. Ia harus mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. Pada April 2008, Guterres yang mengajukan peninjauan kembali (PK), dibebaskan dari segala tuduhan melalui keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan telah menemukan “bukti baru” bahwa ia tidak terlibat apapun.

Kini, Guterres tengah bersaing dengan para kandidat lainnya untuk menduduki kursi Ketua Umum Uni Timor Aswain (Untas). Untas adalah sebuah organisasi yang memayungi  sekaligus memperjuangkan nasib dan kesejahteraan warga eks Timor Timur yang ada di Timor Barat dan daerah lainnya di Indonesia. Belum lama ini, Miftah M. Yusufpati dan Lukman Hakim dari LiraNews.com mewawancarai Eurico Guterres di kantor Lira (Lumbung Informasi Rakyat), Jakarta. Berikut petikannya.

Bagaimana kabar Anda?

Kabar saya baik, seperti yang Anda lihat (Guterres tersenyum).

Apa aktivitas Anda sekarang?

Ya biasa-biasa saja. Saya tidak bekerja. Kalau ketemu teman-teman, saya ngobrol sambil ngopi bareng. Kalau ketemu wartawan, ya diwawancara. Dalam struktur kepengurusan Untas, saya termasuk salah seorang anggota dewan penasehat, bukan pengurus harian.

Bisa diceritakan kondisi warga eks Timor Timur saat ini?

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), warga eks Timor Timur yang terdata jumlahnya mencapai 76 ribu orang. Itu pun masih banyak yang belum terdata. Diperkirakan jumlahnya sekitar 80 orang. Sebagian dari mereka mata pencahariannya bertani dan hidup di tempat pengungsian, numpang sama warga lain. Pemerintah tidak memberikan tempat khusus. Sementara jika dihitung semua dengan yang ada di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan wilayah lainnya, maka jumlah total warga eks Timor Timur  lebih dari 200 ribu orang.

Selama 11 tahun, pasca jajak pendapat tahun 1999, kondisi mereka kian hari kian memprihatinkan. Kehidupan mereka sangat sulit, bukan saja persoalan ekonomi, tapi persoalan kemanusiaan dengan segala turunannya, seperti kemiskinan dan penularan HIV/Aids. Masalah pengidap aids, Kota Atambua menempati peringkat pertama se-NTT. Di sana hampir tiap hari orang mati dan sakit karena penyakit aids. Sampai sekarang belum ada kekuatan medis dari lokal, nasinoal, atau internasional yang mampu menekannya. Bahkan tiap hari angka menularnya begitu cepat. Kalau nggak percaya, silakan turun ke sana.

Sementara itu bentuk perhatian dan bantuan dari pemerintah alakadarnya, kurang terarah serta tidak sanggup menolong kehidupan mereka. Bahkan yang ada justru penyelewengan dan menyisakan berbagai persoalan. Hingga detik ini, saya belum pernah tahu atau baca ada penelitan atau laporan yang menyebutkan bahwa bantuan dari pemerintah atau lembaga apapun bisa menolong menyejahterakan warga eks Timor Timur. Padahal, seharusnya penanganan terhadap mereka sudah selesai. Tapi faktanya masih saja ada persoalan yang justru semakin menyulitkan kehidupan mereka.

Dari situlah kemudian muncul perasaan dan kesimpulan dari mereka bahwa keberadaan mereka selama ini hanya dijadikan satu peluang bagi kalangan tertentu untuk mencari sesuatu. Akhirnya lama-lama mereka sadar tidak mau jadi obyek. Sudah waktunya mereka berkumpul, berbicara dari hati ke hati dan mengambil satu sikap yang terbaik, tidak merugikan siapapun.  Setelah itu, hasilnya diserahkan kepada pemerintah pusat dan daerah.

Itu artinya perjuangan mereka tidak dihargai pemerintah?

Mereka rela berjuang dan meninggalkan tempat kelahiran dan kampung halamannya (Timor Timur atau Timor Leste) demi mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan demi pemerintah. Pemerintah boleh ganti setiap tahun, tapi negara tidak akan pernah ganti. Nyatanya setelah berjuang, di Indonesia mereka tidak bisa hidup layak. Pemerintah tidak terlihat semangatnya dalam menghargai kerja keras dan perjuangan mereka.

Bahkan, nasibnya jauh lebih buruk ketimbang para pemberontak (Guterres menyebut Gerakan Aceh Merdeka, GAM). Kalau dulu saya berjuang untuk mempertahankan agar bendera merah putih tetap berkibar di sana, tapi di kemudian hari tindakan saya dianggap salah, keliru, melanggar hukum, dan harus berakhir di penjara, pasti saya tidak mau (berjuang).

Kita tahu, GAM yang terang-terangan memberontak dan melawan pemerintah serta mengancam keutuhan NKRI, justru malah dirangkul pemerintah. Eks orang-orang GAM kemudian diberi berbagai bantuan dan fasilitas hingga hidupnya enak. Sementara warga eks Timor Timur, kalian bisa lihat sendiri. Artinya, dalam hal ini pemerintah tidak adil dalam memperlakukan seluruh warganya. Padahal, tindakan pemerintah berdamai dengan GAM jelas-jelas melanggar UUD 1945. Sebab negara tidak boleh kalah atau tunduk terhadap pemberontak.

Di sisi lain, perlakuan berbeda dari pemerintah kepada eks GAM dan warga eks Timor Timur justru menjadi preseden buruk dan memberi peluang bagi pemberontak untuk kembali bangkit serta makin mempersempit gerak kelompok-kelompok nasional. Toh ketika sekelompok warga berubah jadi pemberontak, mereka akan berpikir bahwa pemerintah pasti akan merangkul dan memberinya kehidupan yang lebih baik.

Padahal status mereka Warga Negara Indonesia (WNI)?

Secara hukum, warga eks Timor Timur memang WNI dan punya KTP Indonesia, tapi mereka diperlakukan bukan seperti WNI oleh pemerintah Indonesia. Kalau dunia internasional (PBB dan LSM internasional) menyebut mereka sebagai pengungsi yang belum mau kembali ke Timor Timur atau Timor Leste karena alasan keamanan dan lain-lain.

Kenapa bisa sampai begitu?

Itu karena selama 11 tahun tidak ada penegasan atau keputusan politik apapun dari pemerintah dan parlemen Indonesia pasca jajak pendapat yang menyatakan bahwa mereka adalah WNI. Sehingga, kalangan internasional masih menyebut mereka sebagai pengungsi. Padahal, dulu mereka berjuang mati-matian untuk NKRI. Di sini masalahnya memang sulit dan rumit, masalah politik. Sedangkan Indonesia tidak mau kehilangan citranya di mata internasional.

Lalu apa yang mereka harapkan?

Dulu, Timor Timur memisahkan diri (Guterres tidak mau menyebut Timor Timur merdeka, dengan alasan Timor Timur bukan negara jajahan Indonesia) dari Indonesia karena ada keputusan politik dari pemerintah dan parlemen, yakni UU, TAP MPR dan sebagainya. Maka, sekarang juga nasib warga eks Timor Timur harusnya diputuskan melalui penegasan politik pula. Nyatanya hingga hari ini tidak ada keputusan politik.

Akibatnya, keberadaan dan hidup warga eks Timor Timur jadi terlunta-lunta. Tinggal di negara sendiri, tapi tidak dihargai. Karena itu, pada 28-30 November 2010, mereka akan mengadakan kongres. Salah satu pembahasannya, apakah mereka akan membiarkan diri di situ (tinggal di pengungsian) dengan kondisi yang kian memburuk, atau pulang ke kampung halaman (Timor Timur) dengan tetap menjadi WNI. Langkah seperti ini diperbolehkan oleh hukum internasional.

Kecenderungannya?

Mereka ingin tetap jadi WNI, tapi kembali dan tinggal di kampung halaman, karena di sana mereka masih punya rumah dan sebidang tanah yang bisa ditanami apapun untuk kehidupan yang lebih baik ketimbang selama 11 tahun ini. Kalau pun dalam perjalanan waktu nanti ada warga yang ingin berpindah kewarganegaraan menjadi warga negara Timor  Leste, itu silakan saja. Semuanya ada proses dan aturannya.

Bagi saya dan mereka, kembali ke kampung halaman bukan berarti ingin melepaskan status WNI-nya. Mereka berpikir, daripada tinggal di camp dengan mempertahankan ideologi, idealisme atau nasioanalisme tapi tidak diimbangi dengan kehidupan yang sejahtera, maka lebih baik kembali dan tinggal di kampung halaman. Lagipula, jika mereka ditahan di pengungsian oleh pemerintah (tidak dizinkan kembali ke tanah kelahiran), mereka justru bertanya, sampai kapan pemerintah Indonesia akan sanggup memberikan bantuan kepada mereka? Ini pertanyaan besarnya.

Terkait kongres, bisa diceritakan?

Yah, kongres kedua Untas akan dilaksanakan pada 28-30 November 2010, di Kupang. Kongres pertama Untas telah dilangsungkan pada tahun 2002. Kongres tahun ini pesertanya sekitar 600 orang, yakni perwakilan pengurus daerah dan wilayah Untas dari warga eks Timor Timur yang ada di seluruh Indonesia. Kebetulan, saya salah satu orang yang dicalonkan untuk menjadi ketua umum Untas. Sebab,  saya orangnya mereka dan mereka orangnya saya. Mereka menaruh harapan besar kepada saya.

Rencana kegiatan kongres ini sudah diberitahukan kepada pemerintah dan aparat keamanan, sesuai prosedur yang berlaku. Ingat, sifatnya hanya pemberitahuan, bukan izin. Kalau pun pemerintah dan aparat  tidak mengizinkan, kami tetap akan menggelar kongres, karena organisasi ini bukan organisasi baru. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saja sudah tahu soal Untas. Paling dia cuma mesem kalau tahu kami ingin kongres.

Di kongres nanti, tokoh-tokoh nasional juga diundang, baik dari kalangan pemerintah, politisi, LSM, dan lainnya, untuk memberikan pandangan-pandangan agar warga eks Timor Timur tidak salah dalam memutuskan sesuatu, terutama soal nasib dan masa depannya. Mereka berharap para tokoh itu mau menyempatkan waktunya ke sana. Tapi kalau para tokoh tidak mau datang, ya berarti  kalau datang kalau ada maunya saja, seperti menjelang pemilu untuk meraup suara. Setelah itu warga eks Timor Timur disuruh hidup dengan caranya sendiri.

Apa saja agenda kongres?

Kongres adalah kekuasaan tertinggi untuk menampung segala aspirasi dan tempat mengambil keputusan strategis yang menyangkut politik dan persoalan kemanusiaan. Agendanya sama seperti halnya kongres organisasi lain. Misalnya membahas AD/ART, menentukan ideologi perjuangan dan memilih ketua umum baru. Tapi terpenting, menentukan sikap warga eks Timor Timur, apakah mau tetap bertahan di tanah Indonesia dengan kondisi memilukan seperti yang dialami hingga hari ini atau kembali ke Timor Timur tapi tetap menjadi WNI dengan kehidupan yang jauh lebih baik.

Jika keputusannya kembali ke Timor Timur dengan tetap menyandang status WNI-nya, maka tinggal berkoordinasi antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Timor Leste untuk  proses keberangkatan dan hal teknis lainnya. Itu menjadi tugas dan tanggung jawab dua negara. Lebih dari itu, rekomendasi kongres Untas akan dikirim ke pemerintah Indonesia, pemerintah Timor Leste, PBB, LSM nasional maupun internasional serta pihak lain yang dianggap pantas diberitahu.

Apa arti nasionalisme bagi Anda dan warga eks Timor Timur?

Dimana-mana sering saya katakan, apalah artinya nasionalisme kalau kita nggak bisa makan dan anak-anak kita nggak bisa sekolah. Jangan bicara nasionalisme, tapi tidak diperhatikan kehidupan dan kesejahteraan orang itu. Kadang-kadang kita bertanya, pemerintah sering berkata rakyat harus memiliki nasionalisme. Tapi faktanya, kita lihat nasionalisme itu tidak terlihat pada diri pemerintah.

Sebagai buktinya kasus dua janda pahlawan yang disidangkan di pengadilan gara-gara sengketa rumah itu. Kalau pemerintah mau menunjukan nasionalismenya, mestinya langsung dikasih saja rumah itu, tanpa perlu ribu-ribut seperti diberitakan media massa.  Berapa seh harganya? Toh harga rumah itu nggak sepadan dengan perjuangan dan jasa para suaminya yang sudah hidup mati membela negara ini.

Bagaimanapun, saya dan mereka tetap NKRI. Kalau bicara nasionalisme, ya kira-kira tinggal 15 sampai 20 persen saja. Nasionalisme hanya sekadar slogan saja bagi pemerintah, karena sikap dan tindakan pemerintah sekarang tidak jelas. Ingat, nasionalisme sekarang beda dengan nasionalisme zaman Bung Karno dan Bung Hatta. Situasinya sudah bergeser jauh. (LHZ)

 

 

 

4 respons untuk ‘Eurico Guterres: Nasib Warga Eks Timor Timur Lebih Buruk Ketimbang Pemberontak

  1. ahmad tunisi Agustus 30, 2011 / 1:07 pm

    saya salut dg dengan Eurico Barros Gomes Guterres dan rakyat eks timor-timur,dg jasamu tapi mengapa pemerintah tidak memperhatikannya…..ohh tuhan lindungilah mereka tuhan

  2. abel Januari 26, 2012 / 4:26 am

    sudah seharusnya memang orang orang timor timur yang dirangkul oleh pemerintah, dan bukan gam.

  3. Ozshy Dhg Daely Januari 16, 2013 / 5:13 am

    Harusnya Pemerintah Indonesia lebih memperhatikan mereka, bukan justru di campakkan begitu saja…………
    tp inilah realita kehidupan. saya ingatkan saja kepada Pemerintah Indonesia, jangan sampai mereka ingin kembali ke Timor Leste, hy karena Pemerintah Indonesia tidak Peduli.

  4. mlisi aitarak Maret 4, 2013 / 10:08 pm

    Eurico banyak ngomong..,Timor leste punya hukum bagi Pengungsi yg mau kembali ke Timor leste dengan syarat harus melepaskan WNI nya…dan menjadi Warga negara TILes…tidak hukum internatinonal yg memperbolehkan, pernyataan Eurico itu keliru..sekali.

Tinggalkan komentar