FEI: Kebijakan Ekonomi Pemerintah SBY Ngawur

Penulis Lukman Hakim Zuhdi

Liberalisasi atau globalisasi ekonomi yang dianut pemerintah mulai digugat para ekonom. Ini lantaran pemerintah dianggap selalu menyampingkan kepentingan mayoritas rakyat Indonesia.

Minggu (17/01), Forum Ekonom Indonesia (FEI) menggelar jumpa pers di Hotel Sultan, Jakarta. Forum ini berisi para dosen ekonomi dari berbagai universitas terkemuka. Antara lain dari Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Institut Pertanian Bogor, Universitas Trisakti, Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga, dan Universitas Padjajaran.

Selain beranggotakan para ekonom, FEI berisi tokoh-tokoh yang memiliki spesialisasi ilmu, seperti analis keuangan dan pasar modal serta ahli perbankan. Di antaranya Rizal Ramli, Fahrial Anwar, Hendri Saparini, Iman Sugema, Revrisond Baswir, Ichsanuddin

Fahrial Anwar, Ahli Mata Uang Indonesia
Fahrial Anwar, Ahli Mata Uang Indonesia

Noorsy, Ikhsan Modjo, M. Fadhil Hasan, Achmad Deni Daruri, dan Fahmi Radhi.

“Saat ini yang hadir sekitar 30 orang. Sebetulnya masih banyak anggota FEI yang tidak bisa ikut berkumpul di sini karena satu dan lain hal. Pembentukan forum ini dilandasi kegelisahan sekaligus keprihatinan yang sangat mendalam setelah melihat berbagai arah kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia yang asal-asalan dan tidak berpihak terhadap masyarakat,” kata Rizal Ramli, salah satu penggagas FEI.

Rizal Ramli mengemukakan pemerintah Indonesia agresif dalam berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi, tapi tidak diikuti oleh strategi dan kebijakan industri yang memanfaatkan kekayaan alam sebagai modal pembangunan bangsa. Akibatnya, pemerintah gamang menghadapi globalisasi ekonomi.

“Terbukti sektor-sektor strategis yang menyangkut ekonomi sebagian besar rakyat,  yakni sektor pertanian, industri, dan perdagangan,  tidak memiliki daya saing dan tingkat produktifitas tinggi. Akibatnya, kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif rendah karena bersifat eksklusif dan tidak dapat dinikmati oleh mayoritas rakyat,” papar Rizal.

Jika struktur ekonomi nasional saat ini masih sangat lemah dan tidak jelas arahnya, maka tekad Indonesia untuk menjadi raksasa ekonomi baru di Asia setelah Cina dan India rasanya terlalu muluk. Padahal, lanjut Rizal, jalan satu-satunya bagi Indonesia untuk menyelesaikan berbagai masalah struktural ialah harus segera menyiapkan diri menjadi negara industri.

“Industrialisasi di berbagai sektor, baik manufaktur, pertambangan serta percepatan pertanian, akan menjadi pintu untuk membawa Indonesia menjadi negara dengan struktur ekonomi yang lebih kuat. Kami memprediksi, bila kebijakanpemerintah tepat, maka Indonesia mungkin butuh waktu kurang dari 20 tahun untuk menjadi negara industri,” cetusnya serius.

Kebijakan pemerintah yang ngawur juga disinggung Fahrial Anwar. Ahli mata uang Indonesia ini menuturkan, sistem pasar bebas ternyata tidak hanya berlaku di pasar keuangan. Kini, sistem itu sudah merembet berbagai sektor, seperti sektor riil, perminyakan, telekomunikasi, retail, dan perbankan.

“Sektor-sektor itu sudah diikuasai asing. Ini sangat memprihatikan. Seharusnya perbankan tidak boleh jatuh ke asing, karena itu penting sekali bagi sebuah negara. Kalau perbankan jatuh ke tangan asing, maka perbankan nampaknya tidak mendukung sektor riil dalam pendanaannya,” tandas Fahrial.

Selain itu, sambung Fahrial, liberalisasi di pasar finansial juga diserbu oleh hot money (dana spekulatif berjangka pendek) yang luar biasa bebas masuk ke pasar modal, pasar surat utang dan pasar SBI.  Semuanya dibiarkan, tanpa ada pengendalian dari pemerintah. Padahal, ini akan sangat rentan terhadap goncangan jika ada masalah pada faktor global maupun domestiknya, yang berdampak pada perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

“Jadi, saya ingin bertanya kepada pemerintah, apakah rezim devisa bebas yang sekarang kita jalani masih layak dipertahankan? Menurut saya, ini segera ditinjau kembali. Jangan biarkan negeri ini menjadi lahan buat para spekulator global memainkan pasar finansial kita,” suara Fahrial terdengar berat.

Sementara itu, Ikhsan Modjo membeberkan, berbagai draft atau kesepakatan perjanjian perdagangan internasional yang sudah maupun belum ditandatangi pemerintah, tidak ada satu pun yang menyepakati akan adanya pergerakan atau fleksibilitas tentang tenaga kerja. Selama ini Indonesia terlalu fokus pada aspek perdagangan dan modal, sementara pada saat yang sama mengabaikan tenaga kerja.

“Satu-satunya yang menyepakati pergerakan terbatas pada tenaga kerja adalah perjanjian ekonomi yang akan berjalan pada 2015. Mestinya pemerintah sadar bahwa jika tenaga kerja tidak perhitungkan dalam liberalisasi, maka akan terjadi ketimpangan sosial. Jumlah pengangguran meningkat drastis. Dengan demikian, berarti ada yang salah dengan pola perdagangan bebas yang kita anut ini,” kritik Ikhsan, ekonom muda dari Universitas Airlangga, Surabaya.

Sedangkan M. Fadhil Hasan mengingatkan, kehadiran para ekonom dalam jumpa pers ini bukan karena takut menghadapi liberalisasi atau globalisasi ekonomi. Pasalnya, liberalisasi adalah suatu fenomena atau keniscayaan di berbagai negara. Hanya saja, persoalannya pemerintah Indonesia tidak mempersiapkan diri. Akibatnya, rakyat Indonesia bukan menerima manfaat, tapi justru menjadi korban dari liberalisasi.

“Contoh kecil  soal CAFTA (China-ASEAN Free Trade Agreement). CAFTA sudah direncanakan sejak November 2002. Nyatanya,

M. Fadhil Hasan, Ekonom
M. Fadhil Hasan, Ekonom

sampai CAFTA efektif diberlakukan 1 Januari 2010, pemerintah kita tidak melakukan apapun. Imbasnya, banyak industri yang kelabakan. Jika dianalisa, pangkal persoalan dari semua ini karena pemerintah menyerahkan kebijakan ekonomi kepada pasar,” kecam Fadhil.

Oleh karena itu, kehadiran Forum Ekonom Indonesia tidak lain untuk mengingatkan pemerintah bahwa peluang menjadi negara besar di Asia masih terbuka, asalkan mau melakukan dua syarat. Pertama, pemerintah Indonesia harus mengakhiri kebijakan ekonomi yang berparadigma pro pasar ugal-ugalan. Artinya, garis kebijakan ekonomi harus dikembalikan pada garis ekonomi konstitusi.

“Kedua, Indonesia harus segera membuat kebijakan industrial strategy yang akan menjadi referensi dalam pengembangan industri yang komprehensif. Pemerintah perlu melakukan lompatan strategi dan kebijakan untuk mempercepat industrialisasinya. Jika tidak,  maka dikhawatirkan akan terjadi reinkarnasi ekonomi neokolonial di Indonesia. Prinsipnya, FEI siap dan membuka diri untuk berdialog dengan pemerintah,”  pungkas Rizal Ramli. (Tulisan ini dimuat di Tabloid INDONESIA MONITOR, Edisi 81 Tahun II, 20-26 Januari 2010, halaman 28)

Tinggalkan komentar