CAFTA, Era Kehancuran Ekonomi Masyarakat

Penulis Lukman Hakim Zuhdi

Kesepakatan CAFTA menjadi salah satu bukti bahwa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono gagal melindungi sektor perekonomian rakyat.

Tertanggal 1 Januari 2010, perdagangan bebas China-ASEAN (China-ASEAN Free Trade Agreement/CAFTA) resmi diberlakukan. Enam negara anggota ASEAN (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) mulai menerapkan tarif nol persen untuk perdagangan ekspor impor antar negara.

Kerajinan rotan, salah satu industri korban CAFTA
Kerajinan rotan, salah satu industri korban CAFTA

Bagi Indonesia, implementasi CAFTA membuat produk-produk Cina kian membanjiri pasar domestik. Produk seperti tekstil,  makanan, minuman, kosmetik, fiber sintetis, elektronik (kabel) dan peralatan listrik, kerajinan rotan, permesinan, besi serta baja merajalela. Semuanya hampir dipasarkan dengan harga murah (low price), lebih murah ketimbang produk dalam negeri.

Akibatnya, menurut H. Iskandar D. Syaichu, SE, anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), pengusaha dalam negeri kelimpungan. Pengusaha kecil dan menengah dalam 6-9 bulan kedepan bakal ambruk lantaran terus digempur produk-produk Cina.

“Cina sebagai negara raksasa industri, memang lebih siap dengan adanya CAFTA. Produk-produk mereka dibuat dengan menekankan sisi ekonomis, efisien, dan rendahnya biaya produksi, namun dengan kualitas yang lebih baik. Sementara produk-produk lokal selama ini cenderung memerlukan biaya produksi lebih besar. Belum lagi tambahan biaya lainnya. Akhirnya kita yang babak belur,” cetus Iskandar Syaichu, kepada Indonesia Monitor, Minggu (03/01).

Iskandar Syaichu menuturkan, pada 30 November 2009, anggota Komisi VI DPR RI dari seluruh fraksi sudah sepakat mendesak pemerintah untuk segera melakukan renegosiasi Asean Free Trade Agreement (AFTA) dan CAFTA. Pasalnya, industri nasional dianggap belum siap menghadapi persaingan dan perdagangan bebas.

“Permintaan itu disampaikan dalam rapat kerja Komisi VI dengan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menteri Negara BUMN mengatakan akan segera mengomunikasikan persoalan tersebut dengan Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian. Nyatanya, hingga 1 Januari 2010, tidak ada negosiasi ulang,” sesal Iskandar Syaichu.

Bagi Iskandar Syaichu, yang lebih disayangkan lagi karena tiadanya solusi konkrit yang diberikan pemerintah menghadapi CAFTA. Padahal, CAFTA bisa menjadikan ekonomi  masyarakat hancur, kian sempitnya lapangan pekerjaan serta menambah jumlah pengangguran secara drastis. Iskandar mengutip data dari Depnakertrans bahwa karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga Desember 2009 berjumlah 700 ribu.

Nah, kalau CAFTA diberlakukan, saya memprediksi ada sekitar 7,8 juta pekerja yang akan kena PHK dari berbagai sektor industri, karena perusahaannya terancam gulung tikar. Ini jelas semakin memperburuk keadaan,” tukas pria kelahiran Jakarta, 27 September 1965.

Iskandar Syaichu menambahkan, negara juga akan kehilangan devisa yang cukup besar. Karena itu, pertumbuhan ekonomi yang telah ditargetkan pemerintah sebesar sebesar 5,5 persen pada 2010 sepertinya sulit terpenuhi. Iskandar menduga, sebenarnya pemerintah telah menghitung implikasi tersebut.

“Namun, di satu sisi, pemerintah memang memiliki komitmen terhadap perdagangan bebas. Oleh karena itu, Komisi VI dalam waktu dekat berencana mengadakan rapat kerja dengan pemerintah, untuk mengetahui solusi atau titik temu masalah ini,” ujarnya.

Pendapat senada disampaikan KH. Muh. Unais Ali Hisyam, anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Unais Ali Hisyam mengatakan keprihatinannya atas kesepakatan dan penandatanganan CAFTA yang terkesan terburu-buru.

“Padahal dampak negatifnya industri manufaktur kita sangat terpukul, bakal tersingkir jauh,” cetus Unais Ali Hisyam kepada Indonesia Monitor, Minggu (03/01).

Unais Ali Hisyam mengalkulasi bahwa ada sekitar 300 produk Indonesia dari jumlah 2.000 lebih produk yang tidak mampu bersaing dengan produk Cina, seperti baja dan semen.

“Misalnya harga semen di Indonesia per saknya sekarang berkisar 40-50 ribu. Sementara harga semen dari Cina per saknya 20-30 ribu. Kualitas keduanya nggak jauh beda. Saya kira masyarakat lebih memilih semen Cina yang harganya relatif lebih murah. Dari situ saja jelas kalau perusahaan-perusahaan semen di tanah air pelan-pelan akan mati,” Unais menggambarkan.

Maka, lanjut Unais, pemerintah harus menegosiasi ulang perjanjian tersebut. Sayangnya, renegosiasi hanya bisa dilaksanakan setelah enam bulan (per semester) sejak CAFTA diimplementasikan.

“Paling tidak yang sekarang bisa dilakukan pemerintah antara lain mendorong Badan Standarisasi Nasional (BSN) untuk menerapkan tanda SNI (Standar Nasional Indonesia) pada produk-produk Cina. SNI adalah satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di Indonesia. Ini untuk menjaga mutu dan kualitas barang-barang yang masuk,” papar Unais.

Unais menilai, kebijakan perdagangan bebas yang diputuskan pemerintah memang untuk menggenjot ekspor supaya lebih tinggi. Namun, rupanya pemerintah (Departemen Perdagangan) tidak melihat dan menghitung kerugian negara.

“(CAFTA) Ini pengejawantahan neolib dan cenderung merugikan. Sisi ekspor meningkat, tapi ekonomi dalam negeri runtuh. Saya jadi bertanya, Mari Elka Pangestu itu Menteri Perdagangan Indonesia atau Menteri Perdagangan Cina? Karena kebijakan-kebijakannya kerapkali berpihak pada Cina. Saya kira nasionalismenya perlu diasah lagi,” kata Unais tersenyum.

Pemerintah Melanggar Konstitusi

Dalam kesempatan berbeda, Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Erwin Aksa mengatakan, setidaknya terdapat tiga faktor yang membuat pengusaha Indonesia belum siap menghadapi CAFTA. Ketiga faktor itu menyangkut bea masuk, infrastruktur, dan birokrasi.

Erwin Aksa, Ketua HIPMI
Erwin Aksa, Ketua HIPMI

“Penurunan bea masuk barang impor dari Cina yang semula sekitar lima persen menjadi nol persen. Masalah infrastruktur yang masih belum maksimal, seperti keterbatasan akses jalan, salah satu penyebab mahalnya biaya distribusi. Selain itu, terkait lambannya kinerja birokrasi di Indonesia,” papar Erwin Aksa.

Menurut Erwin Aksa, pemerintah dan pengusaha butuh waktu dua sampai tiga tahun lagi agar benar-benar siap dalam perdagangan bebas. Adapun untuk produk-produk Indonesia yang saat ini sudah siap bersaing antara lain CPO (Crude Palm Oil) atau minyak mentah, minyak goreng, dan tambang.

“Meskipun itu masih dalam bahan mentah. Artinya, kita hanya unggul sebatas komoditas sumber daya alam, karena industri dasar kita tidak berkembang,” tandas Erwin.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Revrisond Baswir menyatakan, sejak awal dirinya menolak keras perdagangan bebas China-ASEAN.

“(CAFTA) Nonsense, omong kosong! Itu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1,” tegas Revrisond Baswir kepada Indonesia Monitor, Sabtu, (02/01).

Dalam pasal 33 ayat 1 disebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Menurut Revrisond, perekonomian negara seharusnya disusun bukan berdasarkan perdagangan bebas, melainkan memperjuangkan negosiasi-negosiasi perdagangan yang berakar pada keadilan.

“Jadi, mestinya fair trade agreement, bukan free trade agreement!” cetusnya, serius.

Atas dasar itu, Revrisond meminta pemerintah untuk segera kembali pada konstitusi. Caranya dengan mengosiasi ulang atau bahkan membatalkan CAFTA, meskipun ada denda yang harus dibayar oleh pemerintah.

“Soal denda, itu urusan belakangan,” kata Revrisond enteng.

Menurut Revrisond, fair trade agreement adalah konsep yang patut diperjuangkan pemerintah. Dalam hal ini, sebaiknya kebijakan pemerintah antara lain membatasi impor dan menetapkan pajak tinggi pada barang-barang tertentu. Lebih dari itu, pemerintah harus mengontrol pembangunan dan perkembangan supermarket di daerah-daerah yang tidak terkendali.

Revrisond Baswir, Ekonom UGM
Revrisond Baswir, Ekonom UGM

“Kalau itu dilakukan pemerintah, maka berarti pemerintah memang mau berpihak pada rakyat. Saya kira mestinya pemerintah tahu apa saja agreement- agreement yang patut diambil,” tukasnya.

Revrisond menyarankan, parlemen segera memanggil pemerintah untuk menjelaskan hal tersebut. Selain itu, parlemen perlu mengingatkan pemerintah agar kembali pada aturan konstitusi.

“Kalau misalnya parlemen diam saja atau malah menyetujui kebijakan pemerintah, ya…hancur sudah perekonomian masyarakat Indonesia,” ucap Revrisond terdengar pasrah.

Menyinggung soal pelanggaran konstitusi seperti diutarakan Revrisond Baswir, Iskandar Syaichu mengatakan bahwa memang ada benarnya pemerintah melanggar pasal 33 ayat 1.

“Karena itu, Komisi VI akan menanyakan soal itu pada rapat kerja nanti. Sebagai wakil rakyat, saya akan terus memperjuangkan aspirasi masyarakat,” kata Iskandar Syaichu semangat. (Tulisan ini dimuat di Tabloid INDONESIA MONITOR, Edisi 79 Tahun II, 6-12 Januari 2010, halaman 27)

Tinggalkan komentar